Jepang, negara tanpa agama

Posted by Diposting oleh INYOMAN INDRA S ( UNJ ) On 19.47





Pintu gerbang kuil Buddha, Kiyomizudera, Kyoto Jepang, negara tanpa agama Pengantar Dari pelajaran sejarah dunia, yang kita dapatkan di sekolah, mungkin dijelaskan bahwa mayoritas penduduk Jepang beragama Buddha atau Shinto yang merupakan agama asli penduduk setempat. Penjelasan yang sama sekali tidak salah, karena dua tempat ibadah itulah yang paling dominan bisa temukan di sini. Namun benarkah kedua agama itu merupakan agama terbesar yang dipeluk oleh kebanyakan orang Jepang ? GAMBARAN UMUM Negara Sekuler Jepang adalah negara sekuler, yang berarti negara tidak ikut campur masalah agama. Dalam setiap data pemerintahan atau surat surat resmi lainya tentang identitas penduduk, masalah agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan. Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya "Bagaimana dengan agama di KTP ?" Mereka tidak mengenal sistem KTP. Identitas seseorang biasanya cukup ditunjukkan dengan SIM, kartu pelajar, kartu karyawan dan sejenisnya. Jadi dalam hampir semua aktifitas sehari hari mereka nyaris tidak ada kesempatan untuk menjelaskan tentang identitas agama yang kita anut. Tentu saja layaknya negara sekuler lainya, kantor department agama, menteri agama dan juga hari libur untuk memperingati hari besar agama tertentu, praktis tidak ada. Dalam dunia pendidikan, agama tidak diajarkan atau dilarang diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri, namun diajarkan sebatas sebagai dari pelajaran sejarah. Sensus penduduk tentang agama juga tidak pernah ada di negara ini atau walaupun ada catatan resmi tentang itu, dipastikan data yang disajikan tidak akan pernah valid dan bisa dijadikan patokan. Seperti yang disebutkan di sitenya Bpk Ishizawa Takeshi berikut :"Statistik mengenai agama (tahun 1992) yang disusun oleh Departmen Pendidikan Jepang, pengikut agama Shinto ; 106.643.616 orang, agama Budha 95.765.996 orang, Kristen (termasuk Katolik) 1.486.588 orang, yang lainnya 10.833.994 orang. Statistik ini sering dipakai sebagai referensi oleh ilmuwan asing, angka tersebut sama sekali tidak bisa dipercayai. Sejumlahnya angka ini, menjadi kira-kira 2 kali dari penduduk Jepang, sekitar 120.000.000 jiwa. Angka ini berdasarkan laporan kepada Departmen Pendidikan dari sekte-sekte tersebut sendiri. Shinto^ menghitung semua penduduk sekitar JINJA; (tempat ibadah Shinto^) sebagai pengikutnya, agama Budha menghitung semua anggota keluarga yang diatur upacara oleh pendetanya sebagai pengikutnya. Jadi, satu orang terhitung sebagai pengikut agama Budha dan Shinto^ kedua-duanya." ( Sumber : http://www.02.246.ne.jp/~semar/agmbaru.html )
Shinto dan Buddha adalah dua agama yang tentu saja berbeda dan memiliki tempat ibadahnya sendiri sendiri, namun bagi masyarakat kebanyakan nyarsi tidak terlalu peduli dengan perbedaanya. Kedua agama itu sepertinya dianggap sama saja. Upacara, ritual atau doa umumnya dilakukan di kedua kuil secara bergantian, misalnya pernikahan umumnya dirayakan lewat ritual Shinto dan pemakaman dilakukan lewat ritual Buddha. Hal ini tentu saja memungkinkan yang salah satunya disebabkan karena Shinto umumnya tidak memiliki tempat pemakaman dan kebanyakan kuburan miliki oleh Tera (tempat ibadah umat Buddha). Hubungan antara Buddha dan Shinto di Jepang cukup unik. Mereka seakan berbagi peran dan tugas. Untuk upacara yang bersifat "keduniawian" seperti peresmian gedung dan perusahaan baru, berdoa untuk lulus ujian, pernikahan dll kebanyakan orang akan mendatangi kuil Shinto jadi ritual sepenuhnya dilakukan lewat tata cara Shinto sedangkan untuk masalah meditasi, pelajaran moral, perbaikan prilaku serta upacara yang bersifat "akhirat" atau "Nirvana" mereka menggunakan menggunakan ritual agama Buddha. Jadi apakah berarti antara Sinto dan Buddha adalah dua agama yang saling berhubungan dan bekerja sama di Jepang ? Tentu saja tidak. Shinto dan Buddha adalah dua agama yang jelas berbeda, memiliki ritual, pendeta, organisasi dan juga tempat ibadah yang berbeda, namun bagi masyarakat umum adalah sama saja. Bahkan yang mungkin sulit untuk bisa Anda mengerti adalah banyaknya pernikahan yang dilakukan di Gereja yang tentu saja berarti mengikuti tata cara agama Kristen. Apakah mereka adalah pasangan yang beragama Kristen ? Sepertinya tidak penting untuk dijawab. Di negara yang menganggap agama hanyalah prosesi budaya dan tengah masyarakat yang menganggap agama hanyalah kebiasaan, tentu saja semua itu adalah memungkinkan.
Agama adalah tidak penting ! Hasil survey yang pernah dilakukan tentang kepercayaan orang jepang terhadap agama, yang saya ambil dari buku Japan Religion and Society Pradigms of Structure and Change, karangan Winston Davis, 1992, menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan, hanya 12 % responden yang menganggap kepercayaan agama adalah penting, 44% menganggap tidak penting, orang jepang yang percaya pada Tuhan hanya 38 %, sisanya tidak percaya atau lebih suka dengan menjawab tidak tahu. Kenapa hal ini bisa terjadi, saya pribadi cuma bisa menduga duga. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang lebih mementingkan perbaikan prilaku dan pencarian diri dibanding kan dengan pencarian Tuhan atau agama. "Apa nama Tuhan dalam agama Buddha ?" pasti akan susah untuk dijawab dan mereka sama sekali tidak mempersalahkanya karena menganggap jawaban dari pertanyaan tersebut tidak akan berpengaruh ke arah perbaikan prilaku. Mungkin dalam hal ini agama Shinto sedikit lebih baik karena setidaknya mereka masih mengenal nama Tuhan yang disebut dengan kata Kami Sama. Namun walaupun begitu, agama Shinto juga memiliki kelemahan (atau mungkin juga sekaligus kelebihan) karena sama sekali tidak mempunyai ajaran apapun yang perlu dipelajari. Jadi dalam situasi dan kondisi masyarakat seperti ini sepertinya wajar saja menurut saya kalau mereka menganggap agama itu tidaklah penting..
Orang Jepang ternyata tidak beragama ! Kalau seandainya Anda sempat bertanya tentang agama pada orang Jepang, umumnya meraka akan menjawab " Saya tidak beragama !" Mungkin ini adalah jawaban yang paling umum. Jawaban yang sepertinya sangat wajar bagi mereka namun tentu saja sangat tidak wajar bagi kita. Pertanyaan tentang agama cendrung umum ditanyakan oleh orang asing, tidak bagi sesama orang Jepang. Nah, bagi mereka yang tidak biasa atau tidak pernah berkomunikasi dengan orang asing, mendadak ditodong dengan pertanyaan "Agama Lu apa ?" terang saja mereka bingung dan akhirnya cendrung menjawab tidak tahu. Sebagian lagi mungkin saja menjawab dengan agama Buddha, Kristen atau agama lainya. Namun kalau Anda bertanya lebih jauh tentang ajaran dari masing masing agama yang mereka sebutkan tadi, saya yakin Anda akan mendapatkan jawaban yang hampir seragam yaitu "Tidak tahu". Saya yakin orang Indonesia yang bukan penganut Buddha pun pasti lebih tahu agama tersebut dibandingkan dengan orang Jepang atau setidaknya tahu apa itu hari Waisak. Perlu diketahui, hari semacam ini tidak dikenal dan tidak dirayakan di negara itu. Yang menarik adalah tentang agama Shinto. Sampai saat ini saya belum pernah mendengar ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto. Kalau Anda mempelajari lebih jauh tentang agama Shinto mungkin semuanya akan menjadi sedikit lebih jelas karena bagi mereka Shinto bukanlah agama. Shinto adalah kebiasaan dan budaya belaka jadi sama sekali tidak mengenal ajaran, kitab suci ataupun nabi seperti layaknya agama yang umum kita kenal. Dalam bahasa Jepang juga kata agama Shinto sama sekali tidak dikenal. (Baca : Mengenal Shito lebih dekat ) Namun hendaknya jangan salah, bahawa walaupun kehidupan beragama mereka berbebas ria, namun dalam tata krama etika sopan santun berprilaku dan berbahasa sangat ketat bahkan bisa dikatakan keterlaluan. Bagi yang pernah mempelajari bahasa Jepang pasti tahu, bagaimana pentingnya memahami bahasa sopan, bahasa standar dan bahasa merendahkan diri. Bahasa yang terakhir yaitu "bahasa merendahkan diri" tentu sangatlah unik namun wajib untuk dipahami. Pilihan kata yang salah atau terbalik dianggap sebagai tidak tahu manner atau tidak sopan, tanpa peduli betapa seringnya Anda sembahyang.. Agama adalah suatu kebebasan dengan beragama jiwa menjadi bebas. Hal ini ditujukkan dengan bangunan kuil yang kebanyakan terbuka hampir tanpa pintu. Siapapun bisa datang dengan bebas untuk datang tanpa pernah membedakan agama apapun dan juga Anda tidak akan pernah ditanyakan dengan pertanyaan apapun tentang agama. Hampir tidak ada basa basi apapun yang perlu dilakukan agar bisa memasuki kuil dengan aman. Berkunjung ke kuil juga tidak dibatasi hanya untuk berdoa atau sembahyang saja, Anda juga bisa berkunjung hanya untuk tujuan rekresi atau sekedar kunjungan wisata saja. Hal inilah yang mungkin menyebabkan kebanyakan orang Jepang merasa nyaman kalau memilih tidak beragama, suatu kebebasan yang sepertinya tidak mungkin bisa didapatkan kalau harus memeluk suatu agama tertentu. Jadi menurut saya, inilah yang menjadi dasar alasan kebanyakan orang yang lebih senang menjawab "tidak beragama" atau tidak menganut agama apapun ketika ditanya tentang agama.
Agama = berbahaya ! Beberapa orang Jepang pernah menjelaskan kepada saya tentang pengertian "beragama" bagi mereka. Beragama diartikan sebagai bergabung dan terdaftar dalam kelompok agama tertentu atau dalam bahasa Ingrisnya disebut dengan Religion Group. Religion group ini biasanya memiliki struktur organisasi yang jelas, memiliki pemimpin, serta ajaran yang harus dipelajari secara rutin dan kontinyu. Salah satu contoh dari Religion group tersebut adalah Aum Shinrikyo, yang sangat terkenal dengan serangan gas sharinnya. Sejak itu pandangan kebanyakan orang tehadap agama yang memang sudah negatif semakin buruk. Kebanyakan orang Jepang tidak akan memerlukan agama dalam kehidupannya sehari hari. Berdoa dengan bebas di kuil manapun tanpa ada keharusan dan batasan waktu adalah sudah lebih dari cukup bagi mereka tanpa merasa perlu harus "beragama" atau bergabung dengan kelompok agama tertentu. Dari beberapa kasus kelompok agama yang ada, seperti halnya Aum Shinrikyo di atas, orang yang bergabung di dalamnya (sebagian masih buron) sama sekali tidak bisa disebut bodoh atau bahkan bisa dibilang berpendidikan cukup tinggi. Hal ini memunculkan pandangan negatif bahwa motivasi seseorang bergabung ke kelompok agama adalah kebanyakan karena mempunyai masalah dalam hidup, masalah dalam pergaulan di masyarakat, masalah kesehatan dan bahkan dicurigai bermasalah secara mental. Hal inilah yang akhirnya memunculkan image negatif terhadap agama. Teror dan perang atas nama agama yang banyak terjadi belahan dunia lain, tampaknya seperti membenarkan pendapat meraka dan membuat kecurigaan mereka agama seakan mendapat tempat.
Tolerasi kehidupan beragama

Ketika zaman Edo (1603 - 1868) agama Kristen dilarang dan ditindas. pengikutnya dihukum mati atau diusir ke luar Jepang. (baca : Sejarah perkembangan Kristen di Jepang) Hal seperti itu sekarang tampaknya hampir tidak terjadi lagi. Semua agama mempunyai kebebasan untuk berkembang. Gereja bisa kita jumpai di banyak tempat, bersebelahan dengan kuil atau jinja, bahkan agama Islampun mulai tumbuh dan bersemi di negara ini.(baca : Islam di Jepang) Belakangan ini, di beberapa tempat, sejumlah mesjib baru mulai didirikan. Hal ini sedikit terbalik dengan kondisi kuil yang sepertinya "dibatasi" sehingga hampir tidak pernah ada pendirian tempat tempat ibadah baru karena sejumlah kuil yang ada sekarang dianggap sudah lebih dari cukup. Kebanyakan orang Jepang kalau berdoa akan mendatangi tempat kuil tua yang mempunyai sejarah yang panjang dibandingkan dengan bangunan kuil baru. Toleransi dan saling menghormati kepercayaan pihak lain juga bisa ditemukan dalam berbagai kesempatan. Dalam setiap acara pesta atau perayaan misalnya, karena mengetahui saya berasal dari Indonesia, pertanyaan seperti "Apakah saya bisa makan daging babi atau minum bir ?" hampir selalu ditanyakan. Hal ini sepertinya menunjukkan jaminan tentang kebebasan beragama yang diatur oleh undang undang, berfungsi dengan sangat baik. jadi bukanlah slogan belaka, PENUTUP Tanpa agama, apakah mereka bisa bahagia ? Apa tujuan hidup mereka ? Bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara rohani dan jasmaniah ? Bagaimana hubungannya dengan kasus bunuh diri yang banyak terjadi di sana ? Adalah beberapa pertanyaan umum yang sering saya baca di berbagai blog tentang Jepang. Pertanyaan yang tampaknya wajar, namun apapun jawabannya tampaknya tetap saja susah untuk kita mengerti mungkin karena selama ini di dalam pikiran kita sudah dibentuk suatu pemikiran bahwa agama adalah satu satunya sumber moral dan tuntunan hidup sejati. Tanpa agama berarti tidak bermoral dan hidup tanpa arah. Dalam sudut pandang yang lain sebenarnya orang Jepang pun juga susah mengerti "keterikatan" kita yang menurut mereka berlebihan dalam hal agama. Sama halnya dengan pertanyaan : "Apakah dengan rajin sembahyang kita menjadi hidup lebih bersih, tertib dan tidak korupsi ?" tentu juga akan sangat susah untuk dijawab. Jadi dari kenyataan yang mereka lihat sepertinya antara agama dan moral sama tidak selalu berhubungan. Agama adalah ibarat bekerja bagi orang Indonesia, tanpa bekerja kita tidak bisa hidup, sama halnya dengan bekerja adalah agama bagi orang Jepang. Dengan penjelasan seperti mungkin bisa sedikit lebih mudah diterima bagi orang oleh kedua belah pihak. Mereka tampak bangga dengan budaya kerja kerasnya dan di belahan dunia lain ada masyarakat yang sangat bengga dengan agama yang dimilikinya. Sepertinya menurut saya setiap orang harus memiliki sesuatu yang harus bisa dibanggakan. Hilangnya kebanggaan ini sama dengan hilangnya harga diri atau pegangan hidup, seperti halnya dengan orang yang memilih mati karena putus asa kehilangan harga diri dan pegangan hidupnya. Harga diri dan pegangan hidup yang dimaksud biasanya adalah pekerjaan. Baca : Bunuh diri, budaya minta maaf gaya Jepang ?

Itulah sedikit cerita tentang kehidupan beragama masyarakat Jepang.. Semoga bermanfaat

Ditulis oleh : inyoman
Revisi terakhir : Agustus 2009 Refferensi : http://www.02.246.ne.jp/~semar/perbanas.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Japan
Winston Davis, 1992, Japan Religion and Society Pradigms of Structure and Change


2 komentar

  1. Unknown Said,

    terima kasih atas cerita nya kl menurut saya memang betul kl di negara kita di hapus kolom agama

    Posted on 8 Mei 2013 pukul 08.48

     
  2. ......................

    Posted on 19 September 2013 pukul 20.11

     

Posting Komentar